Cinta Tak Terungkap

Njum terbaring di atas kasurnya. Malam ini doi memang sengaja ngga’ keluar. Ajakan Ari untuk nongkrong di pos ronda terpaksa ditolaknya. Juga Paung yang berniat baik mau mentraktirnya makan bakso di pengkolan pun bernasib sama, tak digubrisnya. Padahal jarang-jarang kan ada orang yang mau ntraktir, yang sudi ngasih makan gratisan buat Njum. Tapi semua itu ngga’ ada artinya dibandingan dengan suasana hati Njum yang lagi suntuk. Ada apa gerangan? Entahlah cuma Njum yang tau, sebab setelah ditanya, dibujuk sampai diancam doi tetap tak bergeming, ia tetap saja menutup mulutnya rapat-rapat, ia tak kunjung mau menceritakan masalah yang sedang dihadapinya.

“Bukan, bukan gue ngga’ percaya sama loe,” kata Njum sama Ari yang berusaha mencari tau apa sebenarnya yang terjadi. “Hanya saja gue ngga’ mau cerita, gue ngga’ mau orang lain tau dan gue ngga’ mau melibatkan orang lain dalam masalah ini, titik.”

“Termasuk gue?” tanya Ari.

“Ya, siapapun juga.”

Beruntung mereka semua mau mengerti dan membiarkan Njum larut dalam suasana hatinya sendiri, membiarkan Njum tanpa mencampuri urusannya apalagi mengusik acara semedinya kali itu. Semedi? Ya, semedi, sebab dari pagi Njum ngga’ keluar kamar sedikitpun, kecuali buat ke kamar mandi. Ya, kebutuhan yang satu ini memang ngga’ bisa ditawar. Kalo soal makan Njum sih kuat, soalnya doi sudah biasa ngga’ makan, bukan lantaran ngga’ nafsu makan melainkan memang ngga’ ada yang bisa dimakan, tau sendiri kehidupan Njum gimana. So, doi sudah biasa ‘puasa’ dan lambungnya sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu, puasa yang tanpa niat.

Njum yang terbaring tak juga bisa menenangkan dirinya. Ia masih saja gelisah, bolak balik di atas kasurnya, kadang telentang, kadang miring bahkan sampai telungkup. Kegelisahan yang cukup mengganggu, kegelisahan yang cukup membuatnya tersiksa, lalu ketika terlentang tatapannya membentur langit-langit kamarnya yang tampak kusam. Dan seketika itu bayang-bayang wajah Nia menari-nari di pelupuk matanya seolah mengejek dirinya yang lagi suntuk abis.

“Sial, kenapa ini harus gue alami?” batinnya dalam hati.

Ya, gitu deh kalo lagi jatuh cinta. Tapi jangan salah, cinta yang dimaksud Njum bukan cinta biasa, artinya doi mencintai orang yang selama ini jadi sahabat deketnya. Yap, siapa lagi kalo bukan Nia. Cewek yang satu ini tak lain adalah temen curhatnya Njum, mereka kenal sejak dulu, kalo ngga’ salah sejak kecil mereka tuh udah akrab, ya jadi temen sepermainan sampai sekarang. Sekolah bareng dan nongkrong bareng. Jadi hubungannya udah kayak saudara mungkin. Tapi siapa nyangka kalo ternyata kedekatan mereka selama ini telah menumbuhkan benih-benih cinta dalam diri Njum. Yoi, semua itu bukan tanpa alasan, bukan lantaran kedekatan semata, tapi kalo mau jujur perasaan itu muncul secara alami, ya lazimnya orang yang mencintai, begitu pengakuan Njum.

“Goblok, kenapa gue harus jatuh cinta sama sahabat sendiri?” batin Njum memaki dirinya sendiri. Usai pulang sekolah Njum ada janji sama Nia, dia mau nganterin Nia ke toko buku. Sebenarnya Njum ngga’ bisa, cuma dia bela-belain mau karena ada maksud tertentu. Ya, apalagi kalo bukan mau mengungkapkan perasaannya. Bukan, ia bukannya nekat atau ngga’ tau diri. Tapi setelah melewati perenungan yang cukup panjang akhirnya ia memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya. “Ngga’ peduli apapun jawaban Nia nanti, yang penting gue udah ngomong, titik.” Begitu tekad Njum.

Acara pun berjalan seperti biasa, sepanjang jalan mereka terus ngobrol, ada aja yang diomongin pokoknya ngga’ pernah diem deh, sampai mau pulang pun mereka masih asyik ngebahas soal sekolah, acara tivi sampai soal keluarga.

Tapi jujur aja ya, sebenarnya sejak berangkat tadi Njum ngga’ bisa tenang, sekalipun tekadnya sudah bulat, tapi ia masih saja bimbang, dia ngga’ tau harus memulai dari mana.

“Njum, gue laper kita makan dulu yuk?” ajak Nia waktu mereka keluar dari toko buku.

“Sama gue juga laper banget nih, loe mau makan dimana?”

“Hmm..terserah loe aja deh.”

“Ya, udah kita makan bakso aja ya.”

“Boleh, gue yang traktir deh, kan gue yang ngajak loe.”

“Ya, ngga’ boleh gitu dong, kan gue cowok.”

“Lho, emangnya kalo cewek kenapa?”

“Ya, ngga’ kenapa-kenapa sih, tapi kalo loe mau bayarin, gue ngga’ marah kok.”

“Huh, dasar loe sok nolak lagi, padahal seneng kan?”

“Nah, loe tau, udah ah jalannya cepetan, tangki gue udah miring nih.” kata Njum sambil menggandeng tangan Nia. Entah apa maksud semua itu padahal mereka tidak sedang menyeberang jalan, dasar Njum, manfaatin kesempatan banget sih loe. Tapi Nia yang ngga’ tau apa-apa biasa aja, dia ngga’ punya pikiran macem-macem. Tinggal Njum yang setengah mati menahan perasaannya sendiri ketika ia mengeratkan genggamannya.

Usai makan, mereka ngga’ langsung pergi. Njum sengaja memanfaatkan momen ini untuk mengungkapkan perasaannya, sekuat tenaga ia berusaha mengumpulkan keberaniannya, lalu, “Nia,” kata Njum pelan, “Ada yang mau gue omongin nih?”

Mendengar itu, Nia yang lagi nyodokin giginya jadi ketawa, “Heh, emangnya dari tadi loe ngapain? Bukannya dari tadi loe udah ngomong banyak banget.”

“Gue serius Ni.”

“Kenapa? Loe lagi ada masalah?”

“Ngga’ sih.”

“So?”

“Gue, gue sebenarnya…” Njum menggantung omongannya, “Gue…ah, ngga’ deh, ngga’ jadi.” kata Njum gugup sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali. Dan keringat dingin pun mengucur dalam tubuhnya.

“Loe kenapa sih, Njum. Kok gugup gitu? Loe sakit ya, kita pulang aja yuk.” tanya Nia kebingungan melihat ekspresi Njum tadi.

Dan akhirnya Njum bener-bener nyerah, pasrah. Mereka pun meninggalkan kios bakso itu lalu berjalan ke terminal.

Lewat sudah kesempatan emas itu, “Goblok, ngomong aja gue ngga’ berani!” maki Njum dalam hati. Sepanjang perjalanan pulang itu mereka ngga’ lagi banyak ngomong. Bukannya ngga’ ada bahan obrolan tapi tampaknya mereka sudah terlalu letih untuk bercengkrama. Dan Nia pun sepertinya sudah terlelap. Ya, dia tertidur dengan kepalanya tersandar di bahu kiri Njum. Tinggal Njum yang masih berkutat dengan perang batinnya. Ia ngga’ habis pikir kalo ternyata ngga’ semudah itu mengungkapkan perasaannya. “Nia, gue ngga’ tau gimana caranya ngungkapin perasaan gue sama loe, gue cuma berharap loe jadi cewek gue, gue berharap hubungan ini bisa lebih serius lagi, lebih dari sekedar sahabat. Tapi gue ngga’ berani bilang kalo gue sayang banget sama loe.”

Yap, mulai sekarang Njum cuma bisa memaki dirinya sendiri, memaki kebodohannya dan mengutuk kepengecutan dirinya. Itu artinya ia masih harus merasakan gimana tersiksanya memendam perasaan. Entah sampai kapan, ia sendiri tak tau, mungkin sampai suatu saat Nia menyadari. Tapi mungkinkah? “Ah, semoga saja begitu.” ratap Njum dalam hati penuh harap. Berharap keajaiban itu datang, sebab cuma itu yang bisa menolongnya dari semua ini.

Ditulis dalam Cerpen. Leave a Comment »

Tinggalkan komentar